Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan tiga menteri yang akan menggantikan posisi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim.
Ketiga menteri tersebut adalah Prof Dr Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof Dr Ir Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek), serta Dr Fadli Zon MSc sebagai Menteri Kebudayaan (Menbud).
Estafet kepemimpinan Kementerian Pendidikan telah masuk pada babak baru. Ketiga menteri mulai bertugas untuk menangani persoalan bidang pendidikan di Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Terlepas dari pengumuman menteri baru ini, apakah detikers tahu siapa menteri pendidikan pertama di Indonesia?
Ki Hajar Dewantara, Menteri Pendidikan Pertama di IndonesiaKi Hajar Dewantara adalah menteri pendidikan pertama RI sekaligus dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia karena jasa-jasanya di bidang pendidikan. Ki Hajar menjabat sebagai menteri pada 'Presidentil Kabinet' era Presiden Soekarno pada 1945. Kala itu menteri bagian pendidikan disebut sebagai "Menteri Pengajaran".
Menurut buku "Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya" yang diterbitkan oleh Kemdikbud pada tahun 2017, Ki Hajar Dewantara memiliki nama lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta.
Soewardi berasal dari keluarga bangsawan Jawa, tepatnya dari Puro Pakualaman. Ia adalah anak dari Gusti Pangeran Harya (GPH) Soerjaningrat, dan cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Sri Paku Alam III yang memimpin Puro Pakualaman.
Sebagai bagian dari keluarga bangsawan, Soewardi saat itu mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan pada masa Kolonial Belanda. Ia menyelesaikan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) yang saat itu hanya dibuka untuk bangsa Eropa, bangsa Timur dan bumiputra keturunan bangsawan, sebagaimana dikutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia.
Selain itu, Soewardi juga mengenyam pendidikan tinggi di School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA) atau dikenal juga sebagai "Sekolah Dokter Jawa". Namun, ia tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di STOVIA karena kondisi kesehatannya yang memburuk.
Baca juga: Menteri Pendidikan Baru, Ini Pesan dan Harapan dari Para GuruBaca juga: Perlukah Kurikulum Merdeka Belajar Diteruskan? Begini Pendapat Pakar PendidikanPerjalanan Karier Ki Hajar DewantaraSetelah gagal menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Soewardi memutuskan untuk bekerja di pabrik gula, Banyumas. Ia juga sempat bekerja di apotek Rathkamp, Yogyakarta, dengan berbekal pengetahuan yang sempat didapatnya dari STOVIA.
Sembari bekerja, Soewardi juga aktif menulis artikel yang rutin dikirimkan ke surat kabar De Express dan Oetoesan Hindia. Setelah diberhentikan dari Apotek Rathkamp, Soewardi kemudian mendapat tawaran kerja dari Ernest François Eugène Douwes Dekker dari De Express.
Selama menjadi jurnalis, Soewardi kerap kali melontarkan kritiknya terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang dimuat dalam surat kabar. Salah satu artikelnya yang paling terkenal adalah "Als ik eens Nederlander was" atau "Seandainya aku seorang Belanda". Artikel ini mengkritik perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda yang diadakan di wilayah jajahannya, Hindia Belanda.
Artikel yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu ini sontak membuat marah pemerintah Hindia Belanda karena dianggap menghina Ratu Belanda. Akhirnya, pemerintah saat itu menyita berbagai brosur dan surat kabar yang memuat artikel tersebut.
Pada 30 Juli 1913, Soewardi kemudian ditangkap oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena dianggap telah membahayakan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum melalui tulisannya. Kedua sahabatnya, Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo yang memprotes penangkapan Soewardi pun turut ditangkap.
Penangkapan Tiga Serangkai (Soewardi, Douwes Dekker dan dr Cipto Mangunkusumo), berujung pada pengasingan mereka ke negeri Belanda. Tempat pengasingan ini dipilih setelah ketiganya mengajukan permohonan untuk "dibuang" ke Belanda secara bersama-sama agar dapat belajar.
Ki Hajar Dewantara dan Taman SiswaSetelah menjalani pengasingan di Belanda, Ki Hajar kembali ke tanah air dan mendirikan sekolah "Taman Siswa" pada tahun 1922. Pendirian sekolah ini pada awalnya ditujukan untuk mendidik para bumiputra yang saat itu tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Menurut Ki Hajar, pendidikan adalah salah satu alat mobilisasi politik sekaligus sebagai penyejahtera umat. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan yang cocok untuk diterapkan di Hindia Belanda adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan kebangsaan.
Ketiga hal tersebut kemudian melahirkan istilah "patrap guru" atau yang berarti tingkah laku guru akan menjadi panutan murid-murid dan masyarakat. Ki Hajar melahirkan gagasan mengenai pendidikan, salah satunya adalah "tut wuri handayani" yang berarti "mengikuti dan mendukung".
Pemikirannya menyangkut pendidikan dianggap sebagai salah satu pelopor mengenai gagasan pendidikan yang selanjutnya berkembang di Indonesia. Selain itu, patrap guru juga dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan pemerintah Kolonial Belanda.
Taman Siswa semakin berkembang dan meluas ke berbagai wilayah di Hindia Belanda, bahkan menurut laporan periode 1935-1936, Taman Siswa dalam periode tersebut memiliki sekitar 187 cabang yang tersebar di seluruh Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara,ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertama (19 Agustus-14 November 1945). Jabatan ini sebelumnya disebut sebagai "Menteri Pengajaran".
Saat ini, istilah "Tut wuri handayani" digunakan sebagai motto dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Motto ini digunakan untuk menghormati jasa Ki Hajar Dewantara dalam memberantas buta huruf melalui pendirian Taman Siswa hingga gagasannya mengenai pendidikan yang tidak lengkang oleh waktu.
Nama Ki Hajar Dewantara sendiri berubah dari Soewardi yakni saat usia 40 tahun. Penggantian nama ini diduga untuk melepaskan status sosialnya sebagai bangsawan Jawa, serta mendekonstruksi narasi feodalisme dan aristokrasi, sebagaimana keterangan dalam studi yang diterbitkan dalam Cakrawala Pendidikan pada 2002.
Baca juga: Ini Pesan Nadiem untuk Menteri Dikdasmen, Dikti, dan Kebudayaan di Kabinet Merah Putih Sejarah Penetapan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei